Breaking News
Loading...
Selasa, 16 Juli 2013

Masyarakat Adat Dalam Belenggu Penindasan


Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masyarakat adat dan penindasan yang menderanya, sangat penting untuk diketahui definisi dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat muncul di Indonesia diawal dekade 1990-an setelah diskursus mengenai hak-hak hidup kaum adat mengemuka serta organisasi yangconcern akan nasib masyarakat adat banyak bermunculan.
Pada bulan Maret 1999, Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) telah menyepakati definisi dari masyarakat adat. Masyarakat adat merujuk pada definisi yang tertuang dalam Keputusan KMAN No.01/1999,  yakni kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ekonomi, politik, budaya, sosial, ideologi serta wilayah sendiri.
Pada level internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi julukan ‘indigenous peoples bagi masyarakat adat, yang secara harfiah berarti “masyarakat asli”. Sementara Konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka mendefinisikan masyarakat adat sebagai suku-suku bangsa yang berdomisili di negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat lain.
Selain itu, ada definisi lainnya yang menarik dari Jose Martinez Cobo, seorang pejuang hak masyarakat adat yang bekerja untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Menurut beliau, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang mempunyai kesinambungan sejarah antara masa sebelum invasi (kolonial) dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka serta memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lain atau mainstream. Bila merujuk pada pendapat Cobo tersebut, maka dapat diartikan bahwa masyarakat adat telah ada jauh sebelum era kolonial dimulai, bahkan sebelum negara-negara baru post-colonial berdiri.
Dalam dunia keilmuan Antropologi, istilah masyarakat Sederhana lebih sering digunakan untuk menamakan suatu masyarakat yang masih terikat kuat dengan aturan warisan leluhur atau masyarakat adat. Masyarakat sederhana sendiri memiliki arti sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan atau aturan tertentu yang bentuknya masih sangat sederhana (Redfield, 1980). Biasanya, yang termasuk kategori masyarakat sederhana adalah masyarakat yang masih hidup dengan pola berburu dan meramu (Band dan Tribes) serta ladang berpindah (slash and burn). Namun, istilah ini masih dalam perdebatan, mengingat tidak semua masyarakat adat masih memiliki pola hidup berburu atau berladang.
Keberadaan atau eksistensi masyarakat adat di negeri ini mengalami berbagai dinamika, terutama ketika era kolonialisme Eropa dimulai serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Beberapa kalangan, termasuk masyarakat adat sendiri, telah menyuarakan adanya penindasan dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan yang dialami masyarakat adat sejak era kolonial hingga kini.

Perampasan Hak Ulayat
Berawal dari doktrin Terra Nullius yang menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang didatangi bangsa Eropa pada awal masa Merkantilis merupakan daerah tak bertuan, maka para petualang Eropa pun berusaha menaklukkan dan menguasai daerah-daerah tak bertuan yang pada umumnya terletak di benua Asia, Afrika dan Amerika. Bila ada manusia di tempat-tempat tak bertuan itu, maka mereka bukanlah manusia karena belum beradab atau beragama (menurut pandangan orang Eropa). Para kolonialis Eropa menganggap masyarakat asli atau indigenous peoples adalah orang-orang yang perlu ‘diperadabkan’ dan ‘diagamakan’ (dalam hal ini agama yang banyak dianut orang Eropa yakni Kristen atau Katolik).
Paradigma semacam inilah yang menjadi cikal bakal penindasan masyarakat adat selama berabad-abad lamanya. Penindasan yang termanifestasi dalam rupa perampasan hak pengelolaan wilayah atau hak ulayat  masyarakat adat. Hal inilah  yang terus berlanjut bahkan hingga era kolonialisme berlalu.
Pasca kemerdekaan, khususnya era Orde Baru, perampasan hak ulayat berakar  dari pemberlakuan Undang-undang (UU)  No.5/1967 tentang Kehutanan. Dalam UU itu telah diatur  penetapan kawasan hutan oleh negara (Departemen Kehutanan/Dephut). Mekanisme penetapan dan pengelolaan kawasan hutan secara teknis diatur lagi dalam aturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.
Masalahnya, sebelum PP yang menjadi aturan turunan UU No5/1967  itu diterbitkan, pemerintah telah memberikan berbagai konsesi pengusahaan hutan terhadap para pemilik modal, terutama asing. Hal ini tak dapat dilepaskan dari konstelasi politik masa itu. Seiring dengan keberhasilannya menjatuhkan pemerintahan Soekarno dengan sokongan modal multinasional, rezim Orde Baru harus ‘membalas’ kebaikan para penyokongnya itu.
Masalah lain yang lebih mendasar adalah diberbagai kawasan hutan yang ditetapkan sebagai wilayah konsesi itu telah berdomisili masyarakat adat yang kebanyakan hidup sebagai peladang berpindah, seperti suku Sakai dan suku Anak Dalam di Sumatera dan berbagai rumpun suku Dayak di Kalimantan.
Artinya,  pemerintah Orde Baru  telah memberikan izin pada berbagai perusahaan untuk mengeksploitasi wilayah hutan alam tanpa menghiraukan hak-hak masyarakat lokal yang hidup disekitar ataupun didalam kawasan hutan. Akibatnya,  terjadi penguasaan oleh pemilik modal terhadap hutan alam yang belum dikaji secara komprehensif mengenai  kondisi obyektif atau kepemilikannya.  Akibat lainnya adalah  banyak terjadi tumpang tindih lahan antara tanah ulayat milik komunitas adat  dengan areal konsesi milik pengusaha. Inilah awal dari orientasi pengelolaan sektor kehutanan Indonesia yang memarjinalisasi masyarakat adat di era kemerdekaan.
Pada perkembangan selanjutnya, di dekade 1980-an, penetapan kawasan hutan pun  tuntas dilakukan oleh pemerintah. Tiga per empat (120 juta hektar) dari wilayah darat Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Dephut. Lagi-lagi, proses penetapan ini sama sekali tidak memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang faktanya hidup disekitar kawasan hutan.
Bahkan, areal-areal yang secara ‘kasat mata’ tidak tampak sebagai hutan seperti pemukiman, padang rumput dan ladang pun dikategorikan sebagai kawasan hutan. Konsekuensinya, bila kawasan itu dimasukkan dalam kawasan konservasi atau lindung, maka tidak boleh ada penduduk yang tinggal atau mencari penghidupan dalam kawasan tersebut. Padahal, realitanya wilayah-wilayah itu merupakan tempat domisili dan areal garapan masyarakat adat yang nomaden maupun berladang.
Sementara  jika kawasan hutan tersebut dijadikan hutan produksi,dapat dipastikan pengusaha lah yang akan mengeksploitasi wilayah itu. Hal ini makin memperparah pelanggaran hak masayarakat lokal oleh negara dan korporasi.

Keberlanjutan Penindasan
Perampasan hak ulayat masyarakat adat  itu dilanjutkan oleh UU Kehutanan No.41/1999 yang notebene diterbitkan pasca runtuhnya Orde Baru. Dalam bagian Penjelasan dinyatakan bahwa seluruh wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah ulayat atau adat masuk dalam kategori hutan negara. Aturan ini jelas-jelas mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum UU ini muncul, bahkan sebelum Republik Indonesia ini berdiri. Padahal hak ulayat masyarakat adat telah diakui dalam UU Pokok Agraria 1960 sebagai aturan turunan dari Pasal 33 UUD 1945.
Kekacauan  manajerial sektor kehutanan Indonesia pasca berlakunya UU 41/1999 semakin tampak ketika penataan kehutanan yang dilakukan Dephut selesai ditahun 2003. Hasil dari proses tersebut adalah ditetapkannya 12 juta hektar atau 10% dari kawasan hutan Indonesia (termasuk berbagai wilayah ulayat) sebagai kawasan hutan negara.
Sementara, 108 juta hektar atau  90% tanah sisanya dikategorikan oleh BPN  sebagai tanah yang dikuasai negara, tetapi bukan tanah negara. Dan status tanah seluas 108 juta hektar itu menjadi kawasan hutan hak atau hutan milik yang dapat dikuasai secara privat oleh pemilik modal.
Celakanya, dalam penetapan kawasan hutan hak yang notebene memiliki lahan terluas dari keseluruhan kawasan hutan Indonesia itu sama sekali tidak dikaji lebih dahulu mengenai ada tidaknya masyarakat lokal atau adat yang kehidupannya bergantung pada kawasan hutan tersebut. Kekeliruan pengelolaan hutan era Orde Baru kembali terulang di era reformasi. Hal ini menandakan mindset penguasa yang juga belum berubah, bahwasanya hutan diperuntukkan bagi kepentingan segelintir kapitalis dan bukan bagi kesejahteraan rakyat, apalagi masyarakat adat. Izin pengusahaan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kerap dikeluarkan Kemenhut tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.
Buahnya, konflik  agraria di sektor kehutanan yang umumnya mengorbankan rakyat lokal atau masyarakat adat  makin marak. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ditahun 2011 saja telah terjadi 97 kasus sengketa disektor perkebunan dan 36 kasus sengketa lahan di sektor kehutanan. Konflik dikedua sektor inilah yang banyak menumbalkan masyarakat adat. Kasus konflik di Batanghari antara suku Anak Dalam 113 dengan PT Asiatic Persada adalah salah satu contoh konflik agraria yang mengorbankan masyarakat adat.
Penindasan berulangkali terhadap masyarakat adat yang hidupnya masih bergantung pada  hutan, tidak akan usai tanpa membenahi akar permasalahannya yakni keberpihakan negara pada pemilik modal. Kerancuan regulasi yang ada menjadi celah bagi ‘perselingkuhan’ jahat negara dengan modal. Hal ini tiada lain merupakan  buah dari sistem Neo-Liberalisme yang mulai diintrodusir pada awal Orde Baru dan makin ‘menggila’ di era Reformasi.
Maka dibutuhkan perjuangan bersama dari semua pihak, baik kalangan civil society maupun kekuatan politik tertentu  yang concern akan pembebasan kaum adat, untuk melawan  kebijakan negara dan sistem neo-liberal yang menaunginya. Perjuangan atau perlawanan yang mutlak perlu dilakukan guna memutus mata rantai penindasan yang membelenggu masyarakat adat selama  berabad-abad lamanya.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer