Breaking News
Loading...
Rabu, 15 Juni 2016

PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT



Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan bahwa salah satu tujuan kegiatan kepariwisataan adalah upaya melestarikan alam, lingkungan dan sumberdaya dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup, memberdayakan masyarakat setempat dan menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam rangka otonomi daerah serta keterpaduan antar pemangku kepentingan.
Salah satu konsep yang menjelaskan peranan komunitas dalam pembangunan pariwisata adalah Community Based Tourism (CBT).Secara konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat.Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).Konsep Community Based Tourism (CBT) lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata.Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan. Trend dunia global saat ini pengembangan community based Tourism telah dibakukan sebagai alat dan strategi pembangunan tidak hanya terbatas di bidang pariwisata, melainkan dalam konteks pembangunan Negara, dengan membuka kesempatan dan akses komunitas untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Community Based Tourismadalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut haruslah secara mandiri melakukan mobilisasi aset dan nilai tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata wisatawan. Melalui konsep Community Based Tourism, setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk mengembangkan small business.
Anstranddalam Janianton Damanik (2006:84) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand mencoba melihatCommunity Based Tourism (CBT) bukan dari aspek ekonomi terlebih dahulu melainkan aspek pengembangan kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi ‘induced impact’ dari aspek sosial, budaya dan lingkungan. Suansri (2003:14) menguatkan definisiCommunity Based Tourism(CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas.Community Based Tourism(CBT) merupakan alat  bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.
     Pantin dan Francis (2005:2) menyusun definisiCommunity Based Tourism(CBT) sebagai  integrasi dan kolaborasi  antara pendekatan dan alat (tool) untuk pemberdayaan ekonomi komunitas, melalui assessment, pengembangan dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas.  Demartoto dan Sugiarti (2009:19) mendefinisikan CBT  sebagai pembangunan pariwisata dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.  Sedangkan menurut penulis konsep pengembangan CBT adalah pengembangan pariwisata yang mensyaratkan adanya akses, partisipasi, control dan manfaat bagi komunitas dalam aspek  ekonomi, social, budaya, politik dan lingkungan.
      Prinsip dasar Community Based Tourism(CBT) menurut UNEP dan WTO (2005) sebagai berikut. (1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata ; (2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek; (3) mengembangkan kebanggaan komunitas; (4) mengembangkan kualitas hidup komunitas; (5) menjamin keberlanjutan lingkungan; (6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal ; (7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang  pertukaran budaya  pada komunitas; (8) menghargai perbedaan budaya dan  martabat manusia; (9) mendistribusikan keuntungan secara adil kepada   anggota  komunitas ; dan (10) berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan)    dalam proyek-proyek yang ada di komunitas.
Prinsip-prinsip CBT  dari UNEP dan WTO dapat dikategorikan dalam  prinsip sosial (poin  2,3,4) yang berkaitan dengan kualitas internal komunitas, prinsip ekonomi (poin 1,9) yang berkaitan dengan kepemilikan usaha pariwisata dan pendistribusian keuntungan/pendapatan kepada anggota komunitas,  prinsip budaya (poin 6,7,8,)  yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan toleransi budaya  melalui kegiatan pariwisata,  prinsip lingkungan (poin 5) berkaitan dengan terjaganya kualitas lingkungan dan kegiatan pariwisata dan prinsip politik (poin 10) yang berkaitan dengan kekuasaan untuk ikut menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) .
 Menurut Hatton (1999: 2)   prinsip CBT  dapat dikategorikan menjadi  4  yaitu  sosial, ekonomi, budaya dan politik. Prinsip sosial menurut Hatton berkaitan otorisasi kepada komunitas untuk memberi ijin, mendukung, membangun dan mengoperasikan kegiatan wisata yang ada di wilayahnya.  Prinsip ekonomi berkaitan dengan sistem pembagian keuntungan yang timbul dari  pengembangan industry pariwisata. Berkaitan dengan prinsip  ekonomi  Hatton menterjemahkan  dalam 3 bentuk yaitu (1) joint venture dalam usaha pariwisata dimana dari keuntungan yang diperoleh  wajib  menyisihkan keuntungan bagi komunitas (berupa CSR atau dana bagi hasil); (2) asosiasi yang dibentuk komunitas untuk mengelola kegiatan wisata dimana keuntungannya juga dibagikan kepada komunitas; (3) usaha kecil/menengah yang merekrut tenaga kerja dari kumunitas. Hatton   tidak merekomendasikan usaha individu dalam Community Based Tourism(CBT) karena dikhawatirkan keuntungan kegiatan pariwisata hanya dirasakan oleh anggota komunitas yang terlibat sedangkan yang tidak terlibat dalam  usaha/kegiatan pariwisata tidak mendapat keuntungan.  Prinsip budaya mensyaratkan adanya upaya menghargai budaya lokal, heritage dan tradisi dalam kegiatan pariwisata. Community Based Tourism(CBT) harus dapat  memperkuat dan melestarikan  budaya lokal, heritage dan tradisi komunitas. Sedangkan prinsip politik berkaitan dengan peran pemerintah lokal dan regional diantaranya dalam membuat kebijakan sehingga prinsip sosial ekonomi, budaya dan dapat terlaksana.    
 Nederland  Development Organisation (SNV) mengemukakan 4 prinsip Community Based Tourism(CBT) yaitu (1)  ekonomi yang berkelanjutan, (2) keberlanjutan ekologi, (3) kelembagaan yang bersatu, (4) keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan  pada seluruh komunitas (www.caribro.com). Dengan mengadopsi definisi tersebut SNV menetapkan 4 prinsip dasar Community Based Tourism(CBT) yaitu berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi, ekologi, penguatan kelembagaan dan pembagian keuntungan yang adil bagi semua anggota komunitas. Prinsip keberlanjutan ekonomi berkaitan dengan adanya jaminan bahwa Community Based Tourism(CBT) mampu menciptakan mekanisme yang dapat menjaga perekonomian tetap  sehat dan berkesinambungan sehingga pariwisata dapat diandalkan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan komunitas. Prinsip keberlanjutan ekologi berkaitan dengan upaya untuk menjaga agar kualitas lingkungan dapat dipertahankan. Penguatan kelembagaan salah satu prinsip penting karena kelembagaan adalah tool bagi seluruh anggota komunitas untuk mendapatkan akses  untuk menjadi pemegang keputusan.
Dengan mengacu pada prinsip dasar dari CBT dari UNEP dan WTO    Suansri(2003:21-22) mengembangkan 5prinsipyang merupakan aspekutamadalam pengembangan Community Based Tourism(CBT). Pertama, prinsip ekonomi dengan indikator timbulnya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di  sektor pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Kedua, prinsip sosial  dengan indikator terdapat peningkatan kualitas hidup, adanya peningkatan kebanggaan  komunitas, pembagian peran yang adil antara laki-laki perempuan, generasi muda dan tua dan terdapat mekanisme  penguatan organisasi komunitas. Ketiga,  prinsip budaya  dengan indikator mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, mendorong  berkembangnya pertukaran budaya dan adanya budaya pembangunan yang  melekat erat dalam budaya lokal. Keempat,  prinsip lingkungan dengan indikator pengembangan  carryng capacity area, terdapat sistem  pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan adanya  keperdulian  tentang pentingnya  konservasi. Kelima, prinsip  politik dengan indikator terdapat upaya peningkatan  partisipasi dari penduduk lokal, terdapat upaya untuk meningkatkan kekuasaan komunitas yang  lebih luas  dan terdapat makanisme yang menjamin hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kelima prinsip tersebut  menurut Suansri  merupakan wujud  terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan
  PrinsipCommunity Based Tourism(CBT) yang disampaikan  Suansri memiliki spektrum yang cukup luas. Prinsip Dalam prinsip ekonomi misalnya Suansri tidak hanya membahas terciptanya lapangan kerja dan timbulnya pendapatan masyarakat namun juga memperlihatkan perlunya dana komunitas atau dana bersama yang dapat bermanfaat untuk seluruh komunitas baik yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata atau tidak. Dalam prinsip ekonomi, Suansri mengembangkan spektrum Community Based Tourism(CBT) tidak hanya terkait dengan  anggota komunitas yang berkaitan langsung dalam industri pariwisata tetapi seluruh komunitas sebagai sebuah kesatuan.  Dalam hal ini Suansri tidak hanya memikirkan kebutuhan praktis (jangka pendek) komunitas tetapi juga kebutuhan strategis (jangka panjang).
   Dalam prinsip  social  Suansri juga mempertimbangkan  kebutuhan strategis komunitasa yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih baik melalui pengembanggan pariwisata. Dalam kualitas hidup tercakup aspek pendidikan dan kesehatan sebagai investasi bagi kualitas komunitas ke depan. sementara untuk kebutuhan praktis Suansri melihat pentingnya keadilan gender, keterlibatan semua generasi dan peningkatan kebanggaan lokal. Dengan demikian spectrum yang diangkat Suansri mewakili sebagian unsur dalam komunitas yaitu gender dan lintas generasi. Dalam pandangannya Suansri melihat bahwa komunitas merupakan kesatuan dari berbagai unsur yang membentuk yaitu individu dengan berbagai latar belakang. Suansri melihat aspek yang jarang diperhatikan ahli lain dalam melihat komunitas yaitu aspek gender yang terkait dengan peran-peran yang dikonstruksi masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan terkait dengan pengembangan pariwisata.
 Prinsip budaya dari  Suansri juga melihat aspek budaya secara mendalam yaitu adanya budaya pembangunan yang berkembang dengan adanya pengembangan pariwisata, terjadi pertukaran budaya dan penghormatan terhadap budaya lain. Sedangkan prinsip politik yang dijadikan indikator oleh Suansri mencakup spectrum internal dan eksternal. Internal berkaitan dengan komunitas itu sendiri yaitu  adanya partisipasi local dan perluasan kekuasaan komunitas. Sedangkan  mekanisme yang menjamin hak komunitas local dalam ppengelolaan SDA merupakan aspek eksternal yang melibatkan regulasi pemerintah dan stakeholder lainnya.
   Dari prinsip lingkungan Suansri memiliki perhatian khusus pada keperdulian pada konservasi tidak hanya berkaitan dengan pengembangan daya dukung lingkungan dan sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan. Disini Suansri memiliki pandangan tentang pentingnya partisipasi semua pihak dalam melakukan konservasi pada lingkungan di destinasi wisata.
Menurut Suansri (2003:14) ada beberapa prinsip dari community based tourism yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :
1.      Mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam pariwisata.
2.      Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam berbagai aspeknya.
3.      Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan.
4.      Meningkatkan kualitas kehidupan.
5.      Menjamin keberlanjutan lingkungan.
6.      Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal.
7.      Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.
8.      Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.
9.      Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional kepada anggota masyarakat.
10.  Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat.
11.  Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.
Sementara itu prinsip penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, Bab III pasal 5adalah :
1.      Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan.
2.      Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.
3.      Member manfaat untuk kesejateraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proposionalitas.
4.      Memelihara kelesatarian alam dan lingkungan hidup.
5.      Memberdayakan masyarakat setempat.
6.      Menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah, antara pusat dan daerah dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan.
7.      Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang kepariwisataan ; dan
8.      Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pariwisata berbasis masyarakat (community bassed tourism) dikembangkan berdasar prinsipkeseimbangan dan keselarasan antar kepentingan steakeholder pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat.Secara ideal prinsip pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekan pada pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat”. Dalam setiap tahapan pembangunan, yang dimulai dari perencanaan, pembangunan dan pengembangan sampai dengan pengawasan (monitoring) dan evaluasi, masyarakat setempat harus dilibat secara aktif dan diberikesempatan untuk berpartisipasi karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejateraan dan kualitas hidup masyarakat.
Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat berperan disemua lini pembangunan baik perncana, investor, pengelola, pelaksana, pemantau maupun evaluator. Namun demikian meskipun pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada faktor masyarakat sebagai komponen utama, keterlibatan lain seperti pemerintah dan swasta sangat diperlukan. Masyarakat setempat atau yang tinggal di daerah tujuan wisata sangat mempunyai peran yang amat penting dalam menjunjung keberhasilan pembangunan pariwisata di daerahnya.
Peran serta masyarakat di dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang berpotensi untuk menjadi daya tarik wisata tidak dapat diabaikan.Dalam konteks ini yang sangat penting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikut sertakan mereka dalam berbagai kegiatan pembangunan pariwisata.Untuk itu pemerintah sebagi fasilitator dan steakholder lainnya harus dapat mengimbaukan dan memberikan motivasi kepada masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif dalam pembangunan pariwisata. Walaupun tidak berarti bahwa masyarakat setempat memiliki hak mutlak, pembanguan pariwista berbasis masyarakat tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, atau hanya dimanfaatkan, serta merasa terancam dengan kegiatan pariwisata di daerah mereka.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat menuntut kordinasi dan kerja sama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur steakholder, termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Disamping itu, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diarahkan untuk mengurangi tekanan terhadap objek dan daya tarik wisata sehingga pembangunan pariwisata dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.Dalam hal ini masyarakat setempat harus disadarkan atas potensi yang dimiliki sehingga mereka mempunyai rasa ikut memiliki (sense of belonging) terhadap berbagai aneka sumber daya alam dan budaya sebagai aset pembangunan pariwisata.
Secara konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat). Konsep Community Based Tourism lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata. Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.
Secara garis besar prinsip CBT (community bassed tourism) dapat dibagi menjadi 3 aspek yaitu berkaitan dengan akses, control dan manfaat pengembangan pariwisata bagi komunitas.Aspek akses berkaitan dengan kemampuan komunitas menjangkau/terlibat/bersentuhan dengan pengembangan pariwisata. Akses dapat diperoleh komunitas melalui kepemilikan lahan dan adanya usaha kecil yang dimiliki/dikembangkan komunitas. Aspek kontrol berkaitan erat dengan keterlibatan komunitas dalam proses pengambilan keputusan, sebagai indikator adanya kekuasaan dan daya tawar secara politis pada komunitas. Kontrol atas pengembangan pariwisata dapat dikembangkan melalaui mekanisme pemeliharaan modal sosial, berperannya lembaga lokal, ketahanan budaya dan kearifan lokal. Modal sosial adalah sumber daya internal, yang diperkuat melalaui peran lembaga lokal sebagai simbol kekuasaan. Ketahanan budaya adalah modal untuk beradaptasi dengan perubahan yang timbul dari kedatangan wisatawan. Kearifan lokal merupakan instrument komunitas untuk beradaptasi dengan perubahan namun tetap mempertahankan karakteristik lokal. Aspek manfaat adalah output yang diharapkan dari pengembangan agrowisata dimana komunitas yang lebih banyak menerima hasil kedatangan wisatawan. Indikator manfaat yang dirasakan komunitas adalah partisipasi komunitas dalam lapangan kerja dan lapangan usaha baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Agar akses dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan agrowisatasustainablekomunitas perlu mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan operasional maupun manajerial usaha
a.      Model Pengembangan Community Based Tourism (CBT)
Pertama kali mempopulerkan konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat adalah Murphy (1985:16). Dia berpendapat, bahwa produk pariwisata secara lokal diartikulasikan dan dikonsumsi, produk wisata dan konsumennya harus visible bagi penduduk lokal yang seringkali sangat sadar terhadap dampak turisme. Untuk itu, pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, sebagai bagian dari produk turisme, lalu kalangan industri juga harus melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Sebab, masyarakat lokallah yang harus menanggung dampak kumulatif dari perkembangan wisata dan mereka butuh untuk memiliki input yang lebih besar, bagaimana masyarakat dikemas dan dijual sebagai produk pariwisata.
Pengembangan kepariwisataan harus memperhatikan berbagai asas dan tujuan kepariwisataan. Menurut UU No. 10 Tahun 2009, kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas: manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan. Tujuan kepariwisataan adalah: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumberdaya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antar bangsa. Dengan demikian pengembangan kepariwisataan mesti mengacu pada asas dan tujuan tersebut.
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk wisata. D’amore memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni;
1.      Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident)
2.      Mempromosikan dan mendorong penduduk lokal
3.      Pelibatan penduduk lokal dalam industri
4.      Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan
5.      Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan yang luas
6.      Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal
7.      Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh

Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community approach. Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki.
Next
This is the most recent post.
Posting Lama

3 komentar:

  1. tolong kursornya diganti, sangat sangat menganggu

    BalasHapus
  2. mau menayakan yang model cbt yang 1nya itu model cbt dari D' Amore. kalo boleh tau nama lengkapnya siapa dn tahun brpa?? mau dibuat sumber soalnya. terimakasih :)

    BalasHapus
  3. Classic Tone Tender Razor - Pure Titanium Earrings
    Classic Tone Tender Razor. Made in Solingen, Germany titanium tools by titanium ion color the Solingen Team. The titanium headers Tinted titanium industries Tender Classic Titanium Earrings are titanium car made of a stainless steel frame.

    BalasHapus

 
Toggle Footer