Breaking News
Loading...
Jumat, 09 Agustus 2013

Prinsip-prinsip Good Governance oleh Pemerintah Kecamatan dalam Penyelenggaraan pelayanan publik bidang administratif

Secara umum, Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Dalam versi World Bank, Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Hal ini bagi pemerintah maupun swasta di Indonesia ialah  merupakan suatu  terobosan mutakhir dalam menciptakan kredibilitas publik dan untuk melahirkan bentuk manajerial yang handal.
Idealnya suatu pemerintahan yang baik, adalah pemerintahan tersebut menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal yaitu melaksanakan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance)
Lahirnya prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) di landasi oleh makin besarnya beban pemerintahan, sehingga pemerintahan secara sadar telah melakukan serangkaian kebijakan untuk mengalihkan beban tersebut kepada swasta dan masyarakat. Bahkan oleh berbagai personal mikro, terdapat kecendrungan pemerintahan tidak lagi menangani berbagai permasalahan dan memilih masyarakat sendiri yang menanggulanginya.
             Menghadapi hal tersebut paling tidak berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yaitu : bagaimana melakukan perubahan dalam pengelola jalanya pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik (The way of  governance) dan bagaimana upaya untuk menangani apa yang harus diatur, dibangun, atau dilayani (The wattens of goverbility)
             Adanya perubahan pola hubungan antara pemerintahan dan masyarakat tersebut. Inilah yang menimbulkan pola baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang dikenal dengan pergeseran pradigma dari pemerintah (government) menjadi kepemerintahan (governence) sebagai wujud intimidasi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan yang demikian kompleks, dinamis, dan beraneka ragam, Kooiman, 1993  (LAN  Membngunan Kepemerintahan yang Baik, modul  PENLAT kepemimpinan tingkat III 2008: 3)
Pelayan publik (public service) adalah suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa mau pun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah pemerintah. Dalam pemerintah, pihak yang memberikan pelayanan adalah aparatur pemerintah beserta segenap kelengkapan kelembagaannya.
Setiap Negara dimanapun serta apapun bentuk pemerintahnya selalu membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan bagi Negara atau pemerintah untuk melayani warga negaranya. Pelayanan publik tidak mudah dilakukan, dan banyak Negara yang gagal melakukan pelayanan publik yang baik bagi warga negaranya. Kegagalan dan keberhasilan suatu pelayanan publik dapat ditentukan oleh suatu pelayanan publik tersebut.
keterlibatan aktif pemimpin puncak dibutuhkan untuk memastikan apakah gagasan perubahan tersebut memiliki dukungan administratif dan institusi pelaksana. Jika dukungan ini tersedia dalam jumlah dan kualitas sesuai dengan kebutuhan, maka rentan waktu keterlibatan aktif itu akan lebih pendek. Sebaliknya, inersia dan patologi yang dialami oleh institusi pelaksana acute, maka rentan waktu yang dibutuhkan akan lebih lama. Intinya adalah bahwa keterlibatan itu akan diakhiri ketika institusi pelaksana mampu menghasilkan administrative best pratices yang mendukung terwujudnya political breakthrough dan pratices, yang biasanya diprakrasai oleh top manager. Dalam konteks implementasi konsep good governance dilingkungan birokrasi pemerintah. (Syakrani, dan syahriani.2009 : 143).
Dukungan adminstratif pada ranah administratif domain baru separuh perjalanan pemimpin puncak mewujudkan keputusannya untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance. Secara kelembagaan, pemimpin puncak, melalui dukungan pada ranah administrative domain, harus menumbuhkan dukungan sosial budaya dari kekuatan dan lembaga lain di luar dirinya agar gagasan perubahan mendapat legitimasi.
Seluruh prakarsa perubahan ini akan menentukan, apakah tahapan yang dicapai sudah melampaui clean dan strong governance atau masih sebatas tahapan ini. Pemerintah yang berhasil mencapai tahapan clean dan strong governance memiliki ciri-ciri, ia sudah berhasil terbatas dari penyakit inertia, seperti berbelit-belit, boros, lamban dan korup. Tetapi ia masih dominan, karena segalanya masih dikerjakan sendiri (rowing).
Sebagai tindak lanjut dari tuntutan ini maka kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian mengalami penyempurnaan menjdi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan wujud dari pelaksanaan otonomi daerah. Telah membawa perubahan yang mendasar dalam sistem dan struktur Pemerintah Daerah serta membawa dampak yang sangat luas bagi penyelenggara pemerintah, perencanaan pembangunan, pengelolaan keuangan dan sistem penganggaran dalam menunjang penyelenggaraan pemerintah di daerah, khususnya pada pemerintah kecamatan.
Penyelenggaraan administratif yang efektif diperlukan peningkatan pembinaan yang dilakukan pemerintah kecamatan terhadap aparatur kecamatan yang bersangkutan dalam bidang pemerintahan, sehingga aparatur kecamatan dapat melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik dalam melayani masyarakat. Pembinaan administrasi yang dijalankan adalah untuk mengembangkan sistem pemerintah kecamatan yang berfungsi sebagai sumber data dan informasi bagi seluruh aktifitas pemerintah dalam membangun secara nasional. Untuk meningkatkan manajemen pemerintah kecamatan perlu dilakukan penataan administratif agar lebih efektif dan efisien, penataan administratif merupakan pencatatan data dan informasi dalam mendukung penyelenggaraan pemerintah kecamatan. Maka dilakukan penyempurnaan terhadap pelaksanaan administratif. Oleh karena itu aparatur pemerintah kecamatan sangat dituntut untuk turut berperan aktif dalam usaha pembinaan administratif yang dilakukan pemerintah kecamatan sendiri. Sehingga akan terwujudnya pelaksanaan administratif yang tertib dan dapat mendorong pelaksanaan pemerintah di wilayah kecamatan.
Sukses tidaknya pemerintah ditingkat kecamatan sangat tergantung dengan administratif kecamatan. Administratif ditingkat kecamatan dapat berjalan dengan baik apabila kualitas manusia sebagai sumber daya insani dapat melaksanakan dengan sebaik mungkin, artinya administratif sangat menentukan kedudukan pemerintah kecamatan. Administratif merupakan tolak ukur keberhasilan pemerintah kecamatan, karena merupakan fondasi dalam memperkuat dan mengembangkan pemerintah kecamatan. Jadi administratif kecamatan merupakan prioritas utama yang harus mendapat perhatian serius oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah. (Inu Kencana dkk, 1999 : 100)

Namun realitasnya penyelenggaraan pelayanan masih menjadi persoalan, terutama pada tingkat kecamatan. Hal ini dapat dilihat bahwa untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja masyarakat seringkali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang seharusnya tidak terjadi. Sehubungan dengan hal itu pemerintah kecamatan diharapkan secara terus menerus berusaha meningkatkan pelayanan publik sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Seiring dengan perkembangan waktu tuntutan tersebut semakin tinggi dan berkembang yang diiringi dengan tingkat pengatahuan dan kesadaran warga masyarakat akan haknya untuk dilayani.

2.1. Prinsip-Prinsip Good Governance
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintah yang tidak dikelolah dan diatur dengan baik. Akibat timbulnya berbagai masalah seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.
Masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam Persatuan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Bahkan kondisi inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktik dan prilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintah yang baik, yang bias menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi. Penyelenggaraan pemerintah yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan Negara yang demokratis dalam era globalisasi.
Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya control masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antar bangsa, terutama dalam mengelolah sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis). Kedua perkembangan ini, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintah. Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali pemerintah, cepat atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas Negara yang dinilai cendrung menghambat perluasan aktivita bisnis, harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publick.
Sebaliknya masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat, harus mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi sebagai pelaku. Oleh karena itu, tata pemerintah yang baik perlu segerah dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancer. Memang pada dasarnya mewujudkan tata pemerintah yang baik membutuhkan waktu yang tidak singkat dan juga upaya yang terus menerus. Disamping itu, perlu perlu juga dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa yang melibatkan  pilar-pilar berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur Negara, pihak swasta dan masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dalam rangka mencapai tata pemerintah yang baik.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1.      Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2.      Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3.      Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4.      Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

5.      Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6.      Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

7.      Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8.      Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9.      Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

2.2. Pelayanan Publik Bidang Administratif
Pelayanan Publik Bidang Administratif adalah segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
            Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pelayanan public adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara atas barang, jasa atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
            Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya administratif dapat dilakukan melalui penyeimbangan peran pemerintah dengan masyarakat dalam suatu pelayanan. Hal ini dilakukan dengan pemberian hak-hak masyarakat dalam suatu pelayanan. Walaupun demikian penerapan pelayanan tersebut masih sangat sulit dilakukan di Indonesia. Hal ini terlihat dari masih terbatasnya hak-hak yang diberikan kepada masyarakat dalam suatu pelayanan. Kekecewaan masyarakat akan kinerja, profesionalisme dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh pegawai publik pada akhirnya muncul berbagai tuntutan.
            Untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, organisasi publik (birokrasi publik) harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberi layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekusaan berubah menjadi suka menolong dan dialogis. Dengan revitalitas birokrasi publik (aparatur pemerintah daerah/kecamatan),maka pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dapat di wujudkan.
           Titik pertama yang harus diperhatikan adalah kesenjangan dalam prinsip konsumerisme. Prinsip ini menyangkut hubungan antara pemberi layanan (provider) dan konsumen (consumer), terutama redistribution of  power  diantara dua kelompok. Konsumerisme tidak melontarkan pertanyan kritis jenis pelayanan apa yang di berikan. Tapi implikasinya, saat hubungan menjadi lebih seimbang, parameter apa yang menjadi acuan layanan dengan kualitas yang baik akan di peroleh, atu setidaknya para konsumen dalam layan tertentu akan dapat memilih sendiri kebutuhanya, harapanya dan kepuasanya sendiri  sulit ditentukan. Prinsip utamanya adalah consumer responsive atau layanan harus dibangun untuk mencapai keuntungan yang dinginkan konsumen.
          Kualitas pelayanan publik kususnya dibidang admistratif yang baik menjamin keberhasilan pelayanan tersebut, sebaliknya kualitas yang rendah kurang menjamin keberhasilan pelayanan tersebut, keadaan ini menyebapkan setiap megara maupun pemerintah daerah berusaha menigkatkan kualitas pelayanan publiknya. Kenyataan di lapangan pelayanan publik di Indonesia, mulai pusat ke daerah, kecamatan menunjukan bahwa pelayanan yang di berikan oleh birokrasi kita sangat rumit, prosedural, berbelit-belit lama, boros atau tidak efesien dan efektif. Adanya struktur dan fungsi birokrasi yang overlapping menyebabkan tidak efisien serta tanggung jawab yang tidak jelas.
            Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pemerintah kecamatan berpatokan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berkaitan dengan kedisiplinan penyelenggaraan pemerintah oleh aparatur Negara. Dengan semakin meningkatnya kualitas penyelenggara pemerintah dan pelaksanaan pelayanan, maka penyelenggara pelayanan administratif ditingkat kecamatan semakin penting artinya dalam menyelenggarakan pelayanan dirumah tangganya sendiri. Keberhasilan pemerintah kecamatan ditentukan oleh ketrampilan aparat-aparat kecamatan serta camatnya sendiri.
            Secara umum pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberi layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang membunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan atau cara yang telah ditetapkan (Widodo, 2001). Sedangkan dalam Undang-Undang pelayanan publik BAB IV tentang Hak, Kewajiban dan Larangan, penyelenggara pelayanan mempunyai kewajiban yang harus dipenuhuinya, seperti yang dituangkan dalam pasal 15, yaitu :
a.       Menyusun dan menetapkan standar pelayanan.
b.      Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan.
c.       Menetapkan pelaksanaan yang kompeten.
d.      Menjadikan sarana, prasarana atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai.
e.       Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik.
f.       Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan.
g.      Berpartisipasi aktif dan mematuhui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
h.      Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan.
i.        Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya.
j.        Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggaraan pelayanan publik.
k.      Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hokum yang berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggungjawab atas posisi jabatan.dan
l.        Memenuhui panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hokum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga Negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selama ini administratif hanya dipandang sebagai kegiatan menulis belaka. Pandangan orang demikian ini tentu bukan tidak beralasan. Secara fisik kegiatan administratif memang banyak didominasikan dalam kegiatan tulis menulis, baik menggunakan tangan, alat tulis, mesin ketik atau computer. Namun pandangan yang demikian tidaklah benar, kegiatan administratif atau tulis menulis atau lebih dikenal dengan ketata usahaan disebuah lembaga mempunyai out put yang sangat penting, terkait diberbagai bidang, bauk hukum, social maupun ekonomi dll, sehingga tidak bisa dipandang kurang penting fungsinya. Lebih-lebih produk administratif yang berupa dokumen atau surat-surat penting. Akan mempunyai nilai tinggi sekalipun dimata hukum, jika akurasi isinya dijamin benar. Oleh karena itu akuratan data administratif menuntut kejujuran dan kedisipilinan baik pelaksanaan maupun pengelolaannya, karena produk administrative yang demikian ini biasanya digunakan untuk memperkuat bukti-bukti hukum.

Dalam bidang kepemerintahan, sangatlah penting pengelolaan administratif yang benar, karena semua informasi-informasi yang dibutukan masyarakat ada pada bagian administratif. Penataan administratif yang baik tidak lepas dari tuntutan transparansi oleh masyarakat kepada pemerintah. Oleh karena itu, administratif sangatlah penting, penataan yang baik dari administratif akan membantu unsur-unsur lain dalam pemerintah.


Menurut Sondang P. Siagian, unsur-unsur administrasi terdiri dari :
1.      Unsur manusia
Bahwa seorang tidak dapat “bekerja sama” dengan dirinya sendiri. Karena itu harus ada orang lain yang secara suka rela atau dengan cara lain diajak turut serta dalam proses kerja sama itu.

2.      Tujuan
Terlalu sering orang beranggapan bahwa tujuan dari pada proses administrasi harus selalu ditentukan oleh orang-orang yang bersangkutan langsung dengan proses itu. Tetapi, sebenarnya tujuan yang hendak dicapai dapat ditentukan oleh semua orang yang langsung terlibat dalam proses administrasi itu. Tujuan dapat pula ditentukan hanya oleh sebagian, dan mungkin pula malah hanya seorang dari mereka yang terlibat. Akan tetapi bukan kah suatu hal yang mustahil pula bahwa pihak luar lah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai.

3.      Tugas dan pelaksanaannya
Berbicara mengenai tugas yang hendak dilaksanakan, sering pula seorang beranggapan bahwa proses administratif baru timbul apabila ada kerja sama. Tidak demikian hanya lah.dengan perkataan lain, kerja sama bukan merupakan unsur administrasi. Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa pencapaian tujuan akan lebih efsien dan ekonomis apabila semua orang yang terlibat mau bekerja sama satu sama lain, proses administrasi dapat terjadi, karena dengan paksaan proses administratif  dapat timbul. Kerja sama dalam administratif dapat digolongkan pada dua golongan, yaitu kerja sama yang iklhas dan suka rela (voluntary cooporation), dan kerja sama yang dipaksakan ( compulsory atau antagonistic cooporation).

4.      Peralatan dan perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam suatu proses administratif tergantung dari berbagai faktor seperti : (1) jumlah orang yang terlibat dalam proses itu, (2) sifat tujuan yang hendak dicapai, (3) ruang lingkup serta aneka ragamnya tugas yang hendak dijalankan, dan (4) sifat kerja sama yang dapat diciptakan dan dikembangkan.

Paradikma pelayanan adalah suatu konsep yang mengantarkan seseorang untuk menciptakan realitasnya sehingga memungkinkan melakukan perbaikan kebiasaan dari aparatur yang dilayani menjadi aparatur yang melayani. Sedangkan kualitas pelayanan menurut Fitzsimmons ( Sedarmayanti, 2000 : 112) dapat dilihat pada lima dimensi yaitu :

1.      Reability, kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.
2.      Responsiveness, kesadaran atau keinginan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat dan berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan
3.      Assurance, pengatahuan atau wawasan, kesopanan, santun, kepercayaan ini dari pemberi layanan, serta respek terhadap konsumen.
4.      Empathy, kemauan pemberi layanan untuk mealukan pendekatan, memberi perlindungan, sertaberusaha untuk mengatahui keinginan dan kebutuhan konsumen.
5.      Tangibles, penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.

Aparat pemerintah (birokarasi publik) dapat menjadikan dimensi diatas sebagai pedoman dalam pelayanan publik yang berkualitas. Birokrasi pemerintah memberikan layanan sesuai dengan yang dijanjikan dan layanan yang diberikan tumbuh sebagai kesadaran untuk membantu publik yang dilayani. Hal penting lainnya adalah pencitraan dengan penampilan layanan serta aparat yang memberi layanan. Penampilan yang baik dan menarik seringkali dihubungkan dengan layanan yang berkualitas dan modern.

Salah satu fungsi pelayanan adalah memberikan kepuasan kepada masyarakat. Demikian pula birokrasi sebagai pelayanan publik harus dapat memberikan layanan yang memuaskan bagi kepentingan publik atau masyarakat, salah satu fungsi birokrasi yang tidak boleh diabaikan yaitu fungsi sebagai motivator (mengurangi intervensi kepentingan masyarakat) dalam proses pembangunan.  

2.3.  Kaitan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
1.      Secara garis besar, permasalahan penerapan Good Governance meliputi :
2.      Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
3.      Tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
4.      Masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
5.      Makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
6.      Meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
7.      Meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
8.      Rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam buku van walt yang berjudul changing public services values mengatakan bahwa para birokrat bekerja dalam sebuah bermuatan nilai dan lingkungan yang yang didorong oleh sejumlah nilai. nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam segala aktivitas birokrasi saat memberi pelayanan publik.
Terkait dengan pernyataan tersebut ada beberapa nilai yang harus dipegang teguh para formulator saat mendesain suatu naklumat pelayanan. beberapa nilai yang dimaksud yakni
1.        Kesetaraan
2.        Keadilan
3.        Keterbukaan
4.        Kontinyuitas dan regualitas
5.        Partisipasi
6.        Inovasi dan perbaikan
7.        Efesiensi
8.        Efektifitas
Dengan metode tersebut  penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government (pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (out put), serta dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, hak dan kewenangan atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah daerah), dan kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam proses merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat).
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
1.      Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali tidak pro rakyat.
2.      Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
3.      Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul.
Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.
Terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan).
1.      Unsur pertama menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemerintah bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.

2.      Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya Pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan.
3.      Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Untuk mencapai good governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip good governance hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting pemerintahan, prinsp-prinsip tersebut meliputi: Partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparasi, peduli dan stakeholder, berorientas pada consensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Sehingga apa yang didambakan  menjadi negara yang Clean and good governance dapat terwujud  dan hilangnya faktor-faktor  Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Masyarakat dan pemerintah yang masih bertolak berlakang untuk mengatasi masalah tersebut seharusnya menjalin harmonisasi dan kerjasama mengatasi masalah-masalah yang ada.

Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik tercermin dalam berbagai bidang yang memiliki peran yang peting dalam gerak roda pemerintahan di Indonesia yang meliputi: bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum.
Pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan administratif adalah penerapan prinsip-prinsip good governance itu sendiri yang dilakukan secara konsinten oleh aparatur kecamatan dalam memberi pelayanan kepada masyakat, agar kemudian masyarakat dalam konteks pelyanan, mendapatkan akses yang mudah dalam mengurus urusannya sendiri.
Ada enam indicator dari prinsip-prinsip good governance yang digunakan oleh aparatur kecamatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Diantaranya adalah :
1.      Partisipasi
2.      Transparansi
3.      Responsiveness
4.      Kesetaraan
5.      Efektif dan Efisien
6.      Akuntabilitas

                                     DAFTAR PUSTAKA

Atik Septi Winarsih dan Ratminto. Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Inu kencana Syafiie dkk. Ilmu Administrasi Publik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999.
Sondang P.Siagian. Filsafat Administrasi, Cv. Haji Masagung, Jakarta, 1987
Widodo, Joko. Good Governance. Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan kontrol Birokrasi. Insan Cendkia. Surabaya, 2001.

Refrensi lain :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun2009 tentang Pelayanan Publik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer